Rabu, 17 April 2013

Mari MERESPON :)


“Menggagas Renaisans Budaya Sunda”
                                                                                                                                   
Perlunya Renaisans dalam budaya Sunda ditanamkan kepada setiap masyarakat yang terkait, khususnya generasi muda untuk meningkatkan semangat mereka dalam rangka mencapai suatu Renaisans tersebut.  Manusia hidup dalam dua bahasa, yakni bahasa verbal yang berupa lisan dan tulisan, maupun bahasa nonverbal yang berupa lambang-lambang atau kode-kode tertentu.  Keduanya merupakan bahasa yang dipakai di masyarakat sesuai dengan keperluannya masing-masing.  Antara bahasa lisan maupun bahasa tulis keduanya harus seimbang dan masuk pada kriteria baca-tulis yang madani guna mencapai tujuan yaitu berupa Renaisans budaya.
Saya pribadi kurang setuju dengan pendapat Prof. A. Chaedar Alwashilah dalam bukunya yang berjudul “Pokoknya Sunda”, yang mengatakan bahwa “Dalam sejarahnya, manusia hidup dalam bahasa lisan, yakni hidup dengan komunikasi bersemuka.  Sekarang pun manusia modern hingga akhir zaman tidak dapat hidup tanpa komunikasi lisan”.  Pendapat beliau menurut saya kurang bijaksana, karena penggunaan bahasa bagi seseorang bukan hanya mutlak kepada bahasa lisan saja, tetapi tergantung pada situasi dan kondisi seseorang tersebut.  Orang yang tidak bisa berucap, tidak akan mungkin memilih bahasa lisan sebagai alat komunikasinya. Tetapi mungkin ia lebih memilih bahasa seperti bahasa tubuh atau bahasa isyarat untuk lebih memudahkannya dalam menjalin sebuah komunikasi dengan orang lain.  Jadi dalam sejarahnya, manusia hidup tidak dalam budaya lisan saja.  Tergantung pada kondisi seseorang tersebut.
Mengenai pendapat beliau yang mengungkapkan bahwa tulisanlah yang melahirkan modernisasi, saya sependapat karena terbukti setelah ditemukannya mesin cetak yang dapat menciptakan bacaan-bacaan yang berkualitas serta menarik, akan lebih meningkatkan minat baca masyarakat sehingga pengetahuan pun bertambah dan renaisans bukan hal yang sulit lagi untuk dicapai dengan diiringi modernisasi. Serta tersedianya bacaan yang sudah didokumentasikan ke dalam surat kabar, artikel, majalah, novel, puisi, dan lain-lain semakin mendukung untuk proses renaisans tersebut.   Memang tradisi lisan dalam bentuk peribahasa, pantun lama, kisah, mitos, dan sebagainya merupakan warisan yang sangat berharga sebagai peninggalan kebudayaan yang sebagian terdokumentasikan, dan sebagian lainnya lenyap.  Ini bukan hanya tugas Masyarakat Penaskahan Nusantara (Manasa) saja untuk mendokumentasikannya, tetapi ini adalah tugas seluruh masyarakat dari generasi mana pun untuk mengabadikan tulisan-tulisan terdahulu yang mungkin lenyap dimakan waktu tersebut.
Upaya meningkatkan vitalitas bahasa Sunda, khususnya dalam bahasa tulis, tidak harus menciptakan buku filsafat, politik, dan teknologi dalam bahasa sunda, tetapi sebaiknya dimulai dari hal-hal yang lebih sederhana terlebih dahulu, seperti membuat puisi, cerita pendek, dan atrikel yang menarik dalam bahasa sunda, sehingga pembaca menyukai tulisan dalam bahasa sunda.  Dan ketika publik sudah tertarik dengan bacaan yang sederhana yang memakai bahasa sunda tersebut, maka dimulailah menciptakan buku-buku yang berbobot ke dalam bahasa sunda.
Dari sinilah renaisans budaya Sunda dimulai dan dikembangkan ke dalam konteks yang sesuai dan serasi dengan keadaan masyarakat sekitar.  Melalui keempat jurus yang telah disebutkan oleh penulis buku “Pokoknya Sunda” tersebut, sudah sepantasnya bahasa sunda mampu bersaing dengan bahasa Indonesia walaupun pada hakikatnya tidak akan bisa sejajar dengan kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.






“Sekali Lagi, Renaisans Budaya Sunda”
                                                                                                                                   
Ungkapan dalam bahasa Sunda “Caina herang laukna beunang” menjadi cerminan mayoritas penduduk Sunda dan tentu berkebudayaan Sunda.  Anggota DPRD Jawa Barat memang mayoritas bukan penduduk Sunda.  Tapi bukan berarti mereka kurang hirau untuk memperjuangkan agenda-agenda kebudayaan seperti yang diungkapkan penulis dalam wacana tersebut, hanya saja mereka lebih mementingkan bahasa persatuan agar lebih dimengerti oleh semua masyarakat di Indonesia. Dan semboyan mereka sebagai bangsa Indonesia tetap Bhineka Tunggal Ika.
Saat bertutur kata menggunakan bahasa Indonesia, kadang muncul beberapa kata dalam bahasa daerah, hal ini semata-mata untuk mempertegas ucapan yang dalam bahasa Indonesia tersebut, sekaligus mencirikan bahwa Indonesia adalah negara yang kaya akan bahasa.  Memang bahasa daerah sewaktu-waktu diperlukan dalam penambahan komunikasi bahasa Indonesia, ini bukan berarti bahasa Indonesia tidak mempunyai banyak kosa kata, tetapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya, hanya untuk mempertegas dan memperkuat ucapan.
Di samping itu, saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa “Membangun budaya adalah membangun pendidikan. Dan ruh pendidikan adalah baca-tulis”.  Karena membaca dan menulis merupakan vitalitas pendidikan.  Kebudayaan dan sejarah bangsa dapat dikatakan sudah maju, bercermin dari kemampuan masyarakatnya dalam membaca dan menulis.  Baca-tulis menjamin seseorang berpendidikan.  Karena pada wacana “Sekali lagi Renaisans budaya Sunda” dikemukakan bahwa dalam majalah basis dilaporkan masih kuatnya budaya ngerumpi atau menggosip menguatkan ketinggalan kita dalam dunia pendidikan yang berbasis baca-tulis.  Maka, dalam upaya mencapai Renaisans yang benar-benar Renaisans ini, perlu adanya perubahan dengan meniru budaya Eropa yang sudah terlebih dahulu maju.  Karena istilah renaisans ini pada intinya sama, yakni gerakan penyadaran akan pentingnya baca-tulis dan dokumentasi pengetahuan, termasuk di dalamnya pengetahuan para pendahulu yang hampir terlupakan.
Buku-buku yang ditulis ke dalam bahasa sunda, sebagai salah satu bukti bahwa bahasa daerah telah berkembang dan ada peningkatan dalam penggunaannya, karena literasi sudah semakin menjadi hal yang paling penting dalam perkembangan kebudayaan menjadi sesuatu yang modern.  Dan patut disyukuri kalau masyarakat masih mengenal kebudayaan daerahnya, karena itu merupakan jati diri yang unik dan tidak akan pernah memudar dalam jiwa masyarakat tersebut.  Serta tokoh-tokoh yang terkenal dengan budaya orang sunda seperti Si Kabayan dan Si Cepot begitu menarik karena tokoh tersebut identik dengan watak orang yang santai, tidak serius, dan mengundang tawa, mungkin tokoh tersebut cerminan dari masyarakat sunda pada saat itu.
Dalam hal lain, belum adanya seorang Doktor di sebuah perguruan tinggi UPI dan Universitas Padjajaran yang disertasinya membahas “sastra” Sunda, bukan merupakan adanya kemandulan akademis, tapi saya rasa itu bukanlah hal yang sangat penting dan tidak termasuk pembelajaran di suatu Universitas maupun Perguruan Tinggi, tetapi sastra dan budaya sunda lebih tepat diajarkan di luar dari dunia pendidikan umum.  Bukankah sastra dan budaya bisa dipelajari di kalangan masyarakat?   Khususnya di kalangan para petua-petua atau sesepuh agar lebih memahaminya.  Jadi, saya kurang sependapat dengan penulis wacana “Sekali Lagi, Renaisans Budaya Sunda” yang menyebutkan adanya kemandulan akademis  karena belum adanya Doktor yang disertasinya membahas mengenai “sastra” Sunda tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

Please, write down with your heart... :)