“Menggagas
Renaisans Budaya Sunda”
Perlunya
Renaisans dalam budaya Sunda ditanamkan kepada setiap masyarakat yang terkait,
khususnya generasi muda untuk meningkatkan semangat mereka dalam rangka
mencapai suatu Renaisans tersebut.
Manusia hidup dalam dua bahasa, yakni bahasa verbal yang berupa lisan
dan tulisan, maupun bahasa nonverbal yang berupa lambang-lambang atau kode-kode
tertentu. Keduanya merupakan bahasa yang
dipakai di masyarakat sesuai dengan keperluannya masing-masing. Antara bahasa lisan maupun bahasa tulis
keduanya harus seimbang dan masuk pada kriteria baca-tulis yang madani guna
mencapai tujuan yaitu berupa Renaisans budaya.
Saya
pribadi kurang setuju dengan pendapat Prof. A. Chaedar Alwashilah dalam bukunya
yang berjudul “Pokoknya Sunda”, yang
mengatakan bahwa “Dalam sejarahnya, manusia hidup dalam bahasa lisan, yakni
hidup dengan komunikasi bersemuka. Sekarang
pun manusia modern hingga akhir zaman tidak dapat hidup tanpa komunikasi
lisan”. Pendapat beliau menurut saya
kurang bijaksana, karena penggunaan bahasa bagi seseorang bukan hanya mutlak
kepada bahasa lisan saja, tetapi tergantung pada situasi dan kondisi seseorang
tersebut. Orang yang tidak bisa berucap,
tidak akan mungkin memilih bahasa lisan sebagai alat komunikasinya. Tetapi
mungkin ia lebih memilih bahasa seperti bahasa tubuh atau bahasa isyarat untuk
lebih memudahkannya dalam menjalin sebuah komunikasi dengan orang lain. Jadi dalam sejarahnya, manusia hidup tidak
dalam budaya lisan saja. Tergantung pada
kondisi seseorang tersebut.
Mengenai
pendapat beliau yang mengungkapkan bahwa tulisanlah yang melahirkan modernisasi,
saya sependapat karena terbukti setelah ditemukannya mesin cetak yang dapat
menciptakan bacaan-bacaan yang berkualitas serta menarik, akan lebih
meningkatkan minat baca masyarakat sehingga pengetahuan pun bertambah dan
renaisans bukan hal yang sulit lagi untuk dicapai dengan diiringi modernisasi. Serta
tersedianya bacaan yang sudah didokumentasikan ke dalam surat kabar, artikel,
majalah, novel, puisi, dan lain-lain semakin mendukung untuk proses renaisans
tersebut. Memang tradisi lisan dalam
bentuk peribahasa, pantun lama, kisah, mitos, dan sebagainya merupakan warisan
yang sangat berharga sebagai peninggalan kebudayaan yang sebagian
terdokumentasikan, dan sebagian lainnya lenyap.
Ini bukan hanya tugas Masyarakat Penaskahan Nusantara (Manasa) saja untuk
mendokumentasikannya, tetapi ini adalah tugas seluruh masyarakat dari generasi
mana pun untuk mengabadikan tulisan-tulisan terdahulu yang mungkin lenyap
dimakan waktu tersebut.
Upaya
meningkatkan vitalitas bahasa Sunda, khususnya dalam bahasa tulis, tidak harus
menciptakan buku filsafat, politik, dan teknologi dalam bahasa sunda, tetapi
sebaiknya dimulai dari hal-hal yang lebih sederhana terlebih dahulu, seperti
membuat puisi, cerita pendek, dan atrikel yang menarik dalam bahasa sunda,
sehingga pembaca menyukai tulisan dalam bahasa sunda. Dan ketika publik sudah tertarik dengan
bacaan yang sederhana yang memakai bahasa sunda tersebut, maka dimulailah
menciptakan buku-buku yang berbobot ke dalam bahasa sunda.
Dari
sinilah renaisans budaya Sunda dimulai dan dikembangkan ke dalam konteks yang
sesuai dan serasi dengan keadaan masyarakat sekitar. Melalui keempat jurus yang telah disebutkan
oleh penulis buku “Pokoknya Sunda”
tersebut, sudah sepantasnya bahasa sunda mampu bersaing dengan bahasa Indonesia
walaupun pada hakikatnya tidak akan bisa sejajar dengan kedudukan bahasa
Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia.
“Sekali
Lagi, Renaisans Budaya Sunda”
Ungkapan
dalam bahasa Sunda “Caina herang laukna
beunang” menjadi cerminan mayoritas penduduk Sunda dan tentu berkebudayaan
Sunda. Anggota DPRD Jawa Barat memang
mayoritas bukan penduduk Sunda. Tapi
bukan berarti mereka kurang hirau untuk memperjuangkan agenda-agenda kebudayaan
seperti yang diungkapkan penulis dalam wacana tersebut, hanya saja mereka lebih
mementingkan bahasa persatuan agar lebih dimengerti oleh semua masyarakat di
Indonesia. Dan semboyan mereka sebagai bangsa Indonesia tetap Bhineka Tunggal
Ika.
Saat
bertutur kata menggunakan bahasa Indonesia, kadang muncul beberapa kata dalam
bahasa daerah, hal ini semata-mata untuk mempertegas ucapan yang dalam bahasa
Indonesia tersebut, sekaligus mencirikan bahwa Indonesia adalah negara yang
kaya akan bahasa. Memang bahasa daerah
sewaktu-waktu diperlukan dalam penambahan komunikasi bahasa Indonesia, ini
bukan berarti bahasa Indonesia tidak mempunyai banyak kosa kata, tetapi seperti
yang telah dikatakan sebelumnya, hanya untuk mempertegas dan memperkuat ucapan.
Di
samping itu, saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa “Membangun
budaya adalah membangun pendidikan. Dan ruh pendidikan adalah baca-tulis”. Karena membaca dan menulis merupakan
vitalitas pendidikan. Kebudayaan dan
sejarah bangsa dapat dikatakan sudah maju, bercermin dari kemampuan
masyarakatnya dalam membaca dan menulis.
Baca-tulis menjamin seseorang berpendidikan. Karena pada wacana “Sekali lagi Renaisans
budaya Sunda” dikemukakan bahwa dalam majalah basis dilaporkan masih kuatnya budaya ngerumpi atau menggosip menguatkan
ketinggalan kita dalam dunia pendidikan yang berbasis baca-tulis. Maka, dalam upaya mencapai Renaisans yang
benar-benar Renaisans ini, perlu adanya perubahan dengan meniru budaya Eropa
yang sudah terlebih dahulu maju. Karena
istilah renaisans ini pada intinya sama, yakni gerakan penyadaran akan
pentingnya baca-tulis dan dokumentasi pengetahuan, termasuk di dalamnya
pengetahuan para pendahulu yang hampir terlupakan.
Buku-buku
yang ditulis ke dalam bahasa sunda, sebagai salah satu bukti bahwa bahasa
daerah telah berkembang dan ada peningkatan dalam penggunaannya, karena
literasi sudah semakin menjadi hal yang paling penting dalam perkembangan
kebudayaan menjadi sesuatu yang modern.
Dan patut disyukuri kalau masyarakat masih mengenal kebudayaan
daerahnya, karena itu merupakan jati diri yang unik dan tidak akan pernah
memudar dalam jiwa masyarakat tersebut.
Serta tokoh-tokoh yang terkenal dengan budaya orang sunda seperti Si
Kabayan dan Si Cepot begitu menarik karena tokoh tersebut identik dengan watak
orang yang santai, tidak serius, dan mengundang tawa, mungkin tokoh tersebut
cerminan dari masyarakat sunda pada saat itu.
Dalam
hal lain, belum adanya seorang Doktor di sebuah perguruan tinggi UPI dan
Universitas Padjajaran yang disertasinya membahas “sastra” Sunda, bukan
merupakan adanya kemandulan akademis, tapi saya rasa itu bukanlah hal yang
sangat penting dan tidak termasuk pembelajaran di suatu Universitas maupun
Perguruan Tinggi, tetapi sastra dan budaya sunda lebih tepat diajarkan di luar
dari dunia pendidikan umum. Bukankah
sastra dan budaya bisa dipelajari di kalangan masyarakat? Khususnya di kalangan para petua-petua atau
sesepuh agar lebih memahaminya. Jadi,
saya kurang sependapat dengan penulis wacana “Sekali Lagi, Renaisans Budaya
Sunda” yang menyebutkan adanya kemandulan akademis karena belum adanya Doktor yang disertasinya
membahas mengenai “sastra” Sunda tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar
Please, write down with your heart... :)